Masa Depan Filsafat

29 June, 2011

Karena artikel ini ditujukan untuk orang-orang yang bergelut di bidang akademis, Saya akan memulainya dengan menjelaskan beberapa perbedaan dan persamaan antara filsafat (philosophy) dan sains (science). Di sana tidak ada garis pemisah yang jelas antara keduanya. Keduanya, pada dasarnya, bersubjek universal, dan sama-sama bertujuan mencari kebenaran. Walaupun di antaranya tidak ada garis pemisah yang jelas, namun, ada beberapa perbedaan yang penting dalam metode (method), gaya ( style ) dan presuposisi
(presupposition). Masalah-masalah filsafat mempunyai tiga fitur (feature) yang tidak dipunyai sains. Pertama, filsafat memperhatikan pertanyaan-pertanyaan besar yang belum menemukan jawaban puas dan sistematik. Kedua, pertanyaan-pertanyaan filsafat tertuju kepada apa yang saya namakan ‘kerangka pertanyaan’ (framework of questions); pertanyaan-pertanyaan filsafat lebih tertuju pada kerangka besar yang fenomenal (large frameeworks of phenomena), daripada membuat pertanyaan-pertanyaan individu yang spesifik. Dan yang ketiga, pertanyaan-pertanyaan filsafat itu biasanya berkisar tentang isu-isu yang terkonsep; pertanyaan filsafat sering mempertanyakan konsep kita dan hubungan konsep itu dengan representasi dunia filsafat.

Perbedaan-perbedaan ini akan lebih jelas apabila kita menemukan contoh-contoh yang aktual, misalanya: Pertanyaan “Apa sebab dari kanker?” (“What is the cause of cancer?”) adalah pertanyaan sains, bukan pertanyaan filsafat. Pertanyaan “Apa sifat dasar dari hubungan sebab akibat?” (“What is the nature of causation?”) adalah pertanyaan filsafat bukan pertanyaan sains. Sama halnya dengan pertanyaan “Berapa banyak jumlah saraf transmisi disana?” (“How many neurotransmitters are there?”) adalah pertanyaan sains dan bukan pertanyaan filsafat; tapi pertanyaan “Apa hubungan antara pikiran dan tubuh?” (“What is the relationship between mind and body?”) adalah masih termasuk bagian pertanyaan filsafat. Kasus-kasus yang dipertanyakan filsafat tidak bisa diselesaikan oleh aplikasi sederhana eksperimen atau metode matematis, pertanyaan filsafat ada dalam kerangka besar, dan merangkai isu-isu yang terkonsep. Kemajuan sains yang pokok terkadang memberikan sumbangsih terhadap filsafat karena ini bisa merubah framework dan merevisi konsep. Seperti teori relativitas Einstein, adalah contoh yang jelas di abad dua puluh ini.

Karena filsafat melakukan rangkaian dalam sebuah framework dan dengan pertanyaan yang kita tidak mengetahui jawabannya secara sistematik, ini menyebabkan adanya hubungan yang unik dengan sifat-sifat sains. Secepat kita bisa merevisi dan mencari formula pertanyaan filsafat, pada akhirnya kita bisa menemukan cara untuk menjawabnya secara sistematis, ini menghentikannya dari ranah filsafat dan menjadi ranah sains. Banyak sekali terjadi dalam masalah-masalah kehidupan. Pada awalnya, masalah bagaimana “inert” (ketidak bergairahan dalam hidup) adalah masalah filosofi, terus kalau kita mencoba memahami mekanisme molekul biologi dalam kehidupan, ini bukan lagi menjadi kajian-kajian filsafat, tapi sudah menjadi materi yang dibangun fakta sains. Ini sulit bagi kita untuk mengemukakan intensitas filsafat dalam isu tertentu yang dulu diperdebatkan. Poinnya adalah bahwa tidak banyak mekanis menang dan tidak banyak vitalis kalah, tapi kita mempunyai konsep mekanisme biologi yang lebih kaya dalam kehidupan yang turun menurun. Saya harap hal yang sama terjadi dalam masalah ‘kesadaran’ (conciousness) dan hubungannya dengan proses otak. Apa yang saya tulis ini masih dianggap penting sebagai sebuah pertanyaan filsafat, tapi saya percaya dengan kemajuan mutakhir dalam neurobiologi dan filsafat kritik atas kategori-kategori tradisional dalam mental dan fisik, kita lebih dekat untuk bisa menemukan cara sains yang sistematik untuk menjawab pertanyaan ini. Seperti dalam kasus masalah kehidupan “problem of life”, ini berhenti dari kajian filsafat dan akan menjadi kajian sains. Karakter-karakter pertanyaan filsafat ini, yang selalu dalam bingkainya, dan selalu tidak berakhir dalam riset empiris yang sistematis, memunculkan pertanyaan mengapa sains selalu benar dan filsafat selalu salah. Seberapa cepat kita menemukan jawaban yang sistematis dari sebuah pertanyaan filosofis, dan mendapat jawaban yang disetujui kebenarannya oleh semua investigasi yang kompeten di bidangnya, disana kita menghentikannya dari ranah filsafat dan bergeser ke ranah sains. Perbedaan ini bukan berarti bahwa dalam filsafat apapun terjadi, bukan berarti seseorang bisa berkata apapun dan membuat spekulasi yang dia suka. Secara kontras, atau lebih tepatnya adalah karena kita tidak mempunyai bangunan empiris atau metode matematis untuk investigasi masalah-masalah filsafat, maka kita harus lebih teliti dan cermat dalam analisis filosofis.

Dari apa yang telah saya katakan, ini kelihatannya, pada akhirnya filsafat akan berhenti eksis sebagai sebuah disiplin ilmu jika kita telah menemukan bentuk sains yang sistematik dalam menjawab semua pertanyaan filsafat. Ini adalah mimpi dari para filosof, tapi Saya yakin, sejak masa Yunani kuno, kenyataanya kita belum sukses menemukan menjawab bersih semua masalah-masalah filsafat. Dalam ego generasi tertentu, setidaknya kita telah menemukan sebahagian solusinya, melalui usaha-usaha yang dilakukan oleh Wittgenstein, Austin dan filosof linguistik lainnya, metode yang sistematis sebagai sebuah solusi pertanyaan-pertanyaan filsafat, bagi sebahagian para filosof, ini bisa dipakai untuk menyelesaikan semua pertanyaan dalam waktu tertentu. Austin, misalnya, meyakini di sana masih ada sekitar ribuan pertanyaan filsafat yang belum mendapatkan jawaban, dan dengan riset yang sistematis, dan kita bisa menyelesaikan semua pertanyaan itu. Saya yakin semua orang percaya ini, hanya sebagian kecil dari pertanyaan-pertanyaan filsafat yang ditinggalkan oleh para filosof kuno, yang sudah disetujui dalam bentuk solusi-solusi sains, matematika, dan linguistik. Pertanyaan tentang sifat dasar kehidupan (nature of life), saya yakin sudah selesai, dan sudah tidak menjadi kajian filosofi. Saya harap ini terjadi juga dalam apa yang dinamakan ‘masalah pikiran-tubuh’ (mind-body problem) di abad dua satu ini. Walaupun masih sangat banyak pertanyaan lain yang diajukan sejak masa Yunani kuno yang masih dalam ranah filsafat seperti; “Apa sifat dasar dari keadilan?” (“What is the nature of justice?”), “Apa yang dimaksud dengan masyarakat yang baik?” (“What is a good society?”), “Apa tujuan yang tepat dari kehidupan manusia?” ( “What is the proper aim and goal of human life?”), “Apa sifat dasar dari bahasa dan artinya?” (“What is nature of language and meaning?”), “Apa sifat dasar dari kebenaran?” (What is the nature of truth?”). Saya perkirakan sekitar 90% pertanyaan-pertanyaan filsafat yang diwariskan oleh para filosof Yunani masih tetap dalam ranah filsafat, dan kita belum menemukan bentuk sains, linguistik, atau bentuk matematis untuk menjawabnya. Lebih jauh, pertanyaan-pertanyaam filosofis akan terus-menerus keluar dan area-area baru filsafat terus tercipta. Mungkin barangkali para filosof Yunani belum menemukan beberapa masalah filosofis tertentu, sebagaimana kita telah menemukan interpretasi filosofis yang benar tentang hasil dari quantum mekanis, teori Godel atau teoretik paradoks. Para filosof Yunani belum menemukan subjek seperti subjek yang ditemukan oleh kita seperti filosofis bahasa atau filosofis ‘mind’, ini sepertinya, diakhir abad 21 pun kita akan tetap masih mempunyai masalah-masalah besar filosofis.


Powered by Blogger.

  © Blogger template Writer's Blog by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP