Benarkah Cita-cita Pendirian Negara Islam itu Hanyalah Sebuah Ilusi

20 December, 2010

Di beberapa negara Timur Tengah, Hizbuttahrir ini sudah di bekukan, seperti di Mesir sudah dilarang sejak tahun 1974, begitu juga di Irak ditolak mentah-mentah oleh rezim Sadam Hussain, di Libya dibantai oleh rezim Khadafi. Ironisnya, organisasi ini justru berkembang di negara berpenduduk muslim non arab seperti Pakistan, Banglades, Sudan, bahkan di Malaysia dan Indonesia, hingga mereka dapat melaksanakan konfrensi khilafah internasional di stadiun Senayan Jakarta pada tanggal 12 Agustus 2007.

Terbitnya buku ‘Ilusi Negara Islam’ di Indonesia cukup menarik perhatian para intelektual muslim di negeri tercinta ini, dengan judulnya yang terkesan profokatif menyulut api permusuhan diantara kalangan yang bersinggungan. dengan kelompok peneliti yang terencana rapih, buku itu menyimpulkan bahwa ada beberapa kelompok islam indonesia yang bercita-cita akan mendirikan negara Islam, disinggung pula bahwa di Indonesia banyak aliran-aliran transnasional yang berasal dari Timur Tengah seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbuttahrir dan Wahabi. yang kemudian menjelma mejadi lembaga masyarakat dan partai politik. awalnya memang mengalir sedikit-sedikit, namun lama-kelamaan menjadi air bah. mereka melakukan infiltrasi kedalam instansi-instansi pemerintah bahkan ke dalam organisasi-organisasi besar Islam yang sudah dikenal dengan cerminan islam moderat di Indonesia, seperti NU dan Muhammadiyah.

Ada banyak bagian menarik yang bisa kita ulas dalam kesempatan ini, namun saya hanya akan membahas tentang cita-cita pendirian negara islam di Indonesia, yang mana ini adalah esensinya, hingga akhirnya menjadi judul buku tersebut.

Cita-cita pendirian negara islam adalah sebuah ideologi yang kuat, yang sudah mencapai tahap perencaan rapih, didukung oleh dana dan sistem yang cukup. ini dirintis sejak 57 tahun yang lalu, ketika Taqiyyudin an-nabhani mendirikan Hizbuttahrir di Palestina, jadi itu bukan sekadar ilusi sebagaimana judul buku tersebut, Hizbuttahrir telah membuat rancangan struktur kekhalifahan, yang dipimpin oleh seorang khalifah (Head of State), dipilih sesuai dengan metode pemilihan Khulafaurrasyidin, dalam penentuan kebijakan pemerintahan, khalifah berkonsultasi kepada majlis ummah ( council of the ummah), dan dilaksanakan oleh Muawwin at-tafwid (Delegated Assistanst) yang terdiri dari Muawwin at-Tanfiid (Executive Assistanst), Da’iratul ‘Ilam (Department of information), Da’iratul Harbiyyah (Department of Military), Da’iratus Sina’a (Department of Industry), Da’iratus Shu’un ad-Dakhiliyah (Department of Internal scurity), Da’ratus Syu’un al-Khorijiyah ( Department of Foreign Affairs), Baitul Mall (Treasure). di beberapa negara terdapat wakil-wakilnya yang akan terus melebarkan sayapnya.

Di beberapa negara Timur Tengah, Hizbuttahrir ini sudah di bekukan, seperti di Mesir sudah dilarang sejak tahun 1974, begitu juga di Irak ditolak mentah-mentah oleh rezim Sadam Hussain, di Libya dibantai oleh rezim Khadafi. Ironisnya, organisasi ini justru berkembang di negara berpenduduk muslim non arab seperti Pakistan, Banglades, Sudan, bahkan di Malaysia dan Indonesia, hingga mereka dapat melaksanakan konfrensi khilafah internasional di stadiun Snayan Jakarta pada tanggal 12 Agustus 2007.

Cita-cita pendirian negara islam yang berbasis khalifah di dunia ini bukan sesuatu yang mustahil, karena tuhan maha tahu akan segala sesuatu yang akan terjadi di masa yang akan datang, sebagaimana orang yahudi yang bercita-cita mempunyai tanah sendiri, akhirnya tercapai juga dengan perencanaan yang matang, plus keberuntungan mandatoris inggris terhadap tanah Palestina.

Namun yang jadi permasalahannya adalah, benarkah khilafah itu merupakan satu-satunya sistem politik yang harus diaplikasikan oleh umat islam di dunia ini, dan menjadikan khulafaurrasyidin sebagai tipikal yang ideal yang dijadikan sampel madinah al-fadilah-nya al-Faroby. Lalu bagaimana dengan ratusan tahun setelahnya, yaitu pada masa dinasti Ummayyah, dinasti Abbasyiyah, dan sampai dinasti Turki Usmani, yang menjalankan sistem monarki absolut. Kenapa sistem monarki yang justru lebih lama dari sitem kholifah itu tidak dikatakan sebagai sistem pemerintahan islam?. Pilihan yang membuat saya tentram adalah bahwa islam tidak memerintahkan sistem pemerintahan tertentu apapun, sistem khilafah yang dipakai oleh Khulafaurrasyidin adalah hasil ijtihad para sahabat waktu itu yang mungkin dinggap sebagai sistem yang cocok dengan kondisi politik dan sosial kaum muslimin pasca sepeninggalnya Rasulullah SAW, dan akhirnya sistem itu tidak diaplikasikan kembali oleh para penguasa islam selanjutnya, karena dipandang situasi dan kondisinya berbeda.

Islam hanya memberikan garis-garis keadilan, Tuhan memerintahkan kita untuk memilih pemimpin yang baik, memerintahkan kita untuk menjadi rakyat yang taat kepada pemimpinnya selam dia masih dalam jalur-jalur yang benar, memerintahkan kita untuk bergaul baik dengan bangsa dan agama yang berbeda, selama mereka tidak mengganggu kita. dan masih banyak lagi yang lainnya yang sifatnya universal, dan fleksibel bisa diterapkan dalam sistem pemerintahan yang lain, tidak terpaku kepada sistem kholifah.

Dalam hal ini Indonesia adakah negara pancasila yang didalamnya terdapat esensi syariah islam, dikemas dalam sistem negara republik demokratis, didalamnyapun terdapat nilai-nilai politik islam. Saya mungkin termasuk diantara orang yang tidak setuju terhadap pendirian negara islam di Indonesia khususnya, atau pendirian khilafah islamiyah yang multi nasional umumnya, namun untuk melawan idiologi hizbuttahrir tersebut harus dengan perencanaan yang bagus, dana, dan sistem yang yang rapih, karena cita-cita pendirian negara islam itu bukanlah ilusi belaka, tetapi itu merupakan rencana matang mereka yang sudah di gagas setengah abad yang lalu.

Powered by Blogger.

  © Blogger template Writer's Blog by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP