Dua Fatwa Kontradiktif Tentang Patung

19 September, 2011

Peristiwa perobohan patung di Purwakarta kemarin, menarik saya untuk menulis artikel ini. Ada banyak opini dan analisa mengenai hal ini, ada yang melihatnya dari sisi agama, ada yang dari sisi politik, dan ada juga yang mendekati kasus ini dari kacamata budaya. Di sini hanya akan mencoba mendekatinya dari sisi agama saja, terlepas dari motif yang benar-benar mendorong perobohan patung itu. Semoga bermanfaat.

Dalam hal ini ada buku Muhammad Imarah berjudul ‘Al-Islam wa al-funuun al-jamiilah’ (Islam dan Estetika) yang mengulas dua fatwa kontradiktif. Fatwa pertama adalah fatwa Syekh Muhammad Abduh (meninggal pada tahun 1905 M) yang secara tegas mengatakan bahwa patung itu boleh selama tidak dipakai untuk penyembahan. Fatwa itu ditulis beliau di majalah ‘Al-Manar’ sepulangnya dari Sisilia, Italia. Di sana beliau melihat situs-situs sejarah, gereja-gereja kuno, dan beberapa museum.

Seratus tahun kemudian, tepatnya April tahun 2006, Syekh Ali Jum’ah mengeluarkan fatwa nomor 68 yang mengharamkan patung. Tentu fatwa ini menuai pro dan kontra, mengingat selama ini masyarakat mesir merasa tentram dengan fatwanya Syekh Muhammad Abduh.

Dua fatwa kontradiktif ini tampak menarik, mengingat keduanya muncul di negeri Mesir yang kaya akan seni patung peninggalan zaman Fir’aun. Ini sebenarnya bukan fatwa baru, mayoritas ahli fiqh pun mengatakan demikian dengan memakai dalil-dalil sunnah yang sahih. Namun ada yang membolehkan dengan syarat tidak dipakai penyembahan, dan dipakai untuk tujuan seni atau parawisata. Adapun hadist-hadist sahih mengenai pengharaman patung dinilai sudah tidak sesuai dengan konteks zaman, hadist-hadist itu muncul untuk merespon bangsa Arab zahiliyah yang memakai patung untuk penyembahan.

Powered by Blogger.

  © Blogger template Writer's Blog by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP