Teologi di Andalusia (Hispanic)

21 September, 2011

Sejarah Islam di Andalusia dimulai dari tahun 92 H sampai dengan 897 H, yaitu sekitar delapan abad Islam dengan arabisme-nya mengukir sejarah yang elok, di sanalah paradigma pemikiran mempunyai warnanya yang tersendiri dari tipikal paradigma pemikiran bangsa muslim lainnya di Timur Tengah, tentunya latar sosial dan geografis sangat mempengaruhi hal ini. Semua disiplin keilmuan Islam berkembang, baik kedokteran, filsafat, astronomi, botani, tafsir, hadist, tasawwuf, ilmu sejarah, dan geografi.


Tetapi dalam hal perkembangan ilmu teologi tidak mengalami perkembangan yang cukup berarti, kalau kita melihat pertumbuhan teologi di wilayah Timur di dorong oleh merebaknya teologi-teologi masa pra-Islam, Wilayah Islam Timur mempunyai warisan peradaban Parsi, India, dan Cina, kemudian kentalnya theologi Yahudi dan Nasroni sangat mempengaruhi dan memberikan stimulan yang berarti akan perkembangan teologi. Variasi budaya dan sistem nilai yang sudah mentradisi membuat disiplin ilmu ini berkembang dengan signifikan. Berbeda halnya dengan di Andalusia yang mewariskan ilmu matematika dan mekanik[1], sehingga kaum muslimin di sana terkenal dengan perkembangan ilmu natural, arsitektur, dan ilmu humaniora. Arsitektur Andalus terkenal dengan sistem bangunan ‘Moro ’.

Walupun demikian, paradigma teologi di sana mengalami stagnasi. Ada beberapa poin penting yang di sentuh yang mayoritas oleh para filosof; seperti Ibnu Bajah, Ibnu  Hazm, Ibnu Rusyd, dan Ibnu Tumart. Mereka mencoba untuk menyesuaikan nilai-nilai filsafat dengan nilai-nilai transendental ( baca : ketuhanan ), bagaimana caranya supaya filsafat berjalan seirama dengan ritme-ritme teologi Islam. Sebenarnya usaha untuk mengelaborasi tteologi dengan filsafat sudah dilakukan oleh al-Farobi, al-Kindy, dan ibnu Sina di Timur, namun dengan usaha para Teolog Andalusia yang berupaya melestarikan pemikiran ini pada akhirnya memudahkan bangsa Eropa untuk mentransformasikan pemikiran para teolog muslim ke Barat ( Eropa ). Eropa saat itu sudah ‘jijik’   dengan dogma-dogma gereja yang telah berusia ribuan tahun, akal mereka dijerat oleh patriarkisme, akhirnya para 'Bapa gereja' merasa penting untuk mengadopsi pemikiran-pemikiran para teolog muslim yang mempunyai sistem teologi relevan, dengan racikan teolgi-filsafat.

Teologi seperti halnya ideologi yang mempunyai potensi besar untuk melakukan revolusi, beberapa kali suku Barbar melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan yang menghegemoni yang didorong oleh rayuan-rayuan aliran teologi Khawarij dan Syiah, kemudian revolusi Ibnu Tumart yang bernafaskan revolusi Mu’tazilah terhadap hegemoni Sunni Murobbitun. Dalam rentetetan sejarah Andalus ini dipenuhi dengan nuansa fanatisme Arab, dan pemberontakan bangsa Barbar yang merasa termarjinalkan, hal ini menjadi sasaran empuk bagi penyebaran teologi-teologi seperti yang dilakukan Syiah dan Khawarij.
             
Sekilas Sejarah Kalam di Timur
Sebelum kita mengulas perjalanan teologi di Andalusia alangkahkah baiknya kita mengingat kembali akan pertumbuhan teologi di Wilayah Timur Islam. Pada masa Nabi Muhammad SAW, kaum muslimin tidak pernah bertanya seputar ketuhanan secara mendetail, dan tidak pula mengenal istilah ‘ilmu kalam’. Konsep-konsep teologi di ilustrasikan sesederhana mungkin. Pada perkembangan selanjutnya, kaum muslimin berhasil menginvasi beberapa daerah yang mempunyai kultur sosial dan sistem nilai ketuhanan yang variatif, seperti Parsi, India, Yahudi, dan Nasrani. Itu semua memaksa mereka untuk menggunakan sistem filsafat guna melawan ajaran-ajaran teologi yang variatif itu[2]. Faktor yang dominan lainnya yaitu politik, hampir semua aliran-aliran teologi Islam lahir dari pertentangan politik kaum muslimin di abad pertama dan kedua Masehi, kecuali Mu’tazilah lahir dari semangat memperetahankan konsep ketuhanan Islam dari ajaran-ajaran ketuhanan lainnya[3].

Para teolog yang didominasi oleh mu’tazilah sangat kental dengan filsafat Yunani, mereka mengemas konsep teologi Islam dengan sentuhan-sentuhan logika Aristoteles, memang benar bahwa para teolog muncul 20 tahun sebelum para filosof seperti al-Kindy, tetapi filsafat Yunani terutama logika Aristoteles sudah banyak dikenal oleh kaum muslimin sejak jaman Ibn al-Muqaffa’ ( 106-142 H ).  Sebenarnya konsep ketuhanan itu sudah dibahas oleh kaum muslimin pada masa-masa awal Islam, namun mereka tidak menamakannya dengan nama ilmu kalam, seperti Imam Ahmad bin Hambal yang menamai kajian ketuhanan dengan nama Fiqh al-Akbar, dan yang lainnya menyebut al-Fiqh fi al-Din sebagai kajian teologi, baru pada zaman dinasti Abasyiah muncul terminologi ilmu kalam yang menurut Syahrastani  terma tersebut dicetuskan oleh Mu’tazilah[4]. Menarik sekali untuk membahas ilmu kalam di Timur, tapi saya sengaja membatasinya karena ini akan di kaji dalam kajian ilmu kalam di Wilayah Timur Islam di pertemuan selanjutnya, insya Allah.
Ilmu kalam Di Andalusia

Masa Dinasti Muawiyah ( 92- 422 H )
           
Negeri Andalusia yang bukan Arab pada awalnya tidak pernah melahirkan para ulama, negeri pegunungan itu membutuhkan tiga abad untuk melahirkan para filusuf, teolog, dan para ahli hukum Islam (Fuqoha). Pada mulanya mereka disibukkan dengan belajar bahasa Arab dan beberapa prinsip-prinsip dasar hukum ibadah, dibantu para ulama Timur yang sengaja berkunjung dan menetap di sana, atau karena kunjungannya orang Andalusia untuk belajar ke Timur dan kembali membawa beberapa disiplin ilmu Islam untuk diajarkan di sana. Pada masa pemerintahan kholifah Bani Umayyah al-Mustanshir  yang memerintah pada tahun 350-366 H, mulai ada program pemerintah untuk mengoleksi buku-buku lintas disiplin ilmu[5]. Tiga faktor inilah yang sangat membantu kaum muslimin untuk mengenal beberapa disiplin ilmu Islam yang marak di Timur, termasuk disiplin ilmu kalam.

Andalusia dimenangkan oleh kaum muslimin tanpa memakan banyak korban, pemerintahan di sana di kendalikan oleh raja-raja dari dinasti Umayyah di Damaskus secara sentralistik, dari tahun 92 H negeri Andalusia di pimpin oleh seorang Wali yang dipilih oleh pemerintahan pusat, selama 46 tahun negeri ini di pimpin oleh 23 Wali, dari mulai Thoriq bin Ziyad memerintah tahun 92-93 H, sampai Yusuf bin Abd al-Rahman al-Fahri yang memerintah pada tahun 129-138 H[6]. Pada masa ini kelompok Islam Sunni sangat menghegemoni Andalusia, karena pemerintah dikendalikan oleh dinasti Umawiyyah di Damaskus yang beraliran Sunni, walaupun sistem pemerintahannya cenderung sekuler tetapi aparat pemerintahannya di dominasi oleh orang-orang yang beraliran Sunni. Sementara itu partai Khawarij yang pada awalnya merupakan oposisi politik abadi terhadap pemerintahan Umawiyah pada akhirnya menjelma menjadi aliran theologi dan mewarnai perkembangan teologi di Andalusia. Aliran ini berupaya menarik simpati tentara-tentara Barbar Maroko untuk merevolusi pemerintahan Umawiyyah di Andalus, sehingga pada tahun 121 H terjadi tragedi Asyraf; berupa peperangan antara tentara Arab dan tentara Barbar[7].

Sementara partai Syia’h yang juga menjelma menjadi aliaran theologi terus melakukan pemberontakan-pemberontakan yang sporadis melawan pemerintahan Muawiyah. Perlu diketahui bahwa diantara tentara-tentara Muawiyah yang dikirim ke Andalusia terdapat beberapa tentara yang ikut serta dalam peristiwa Karbala ( Peristiwa terbunuhnya Husain bin Ali ) pada tahun 61 H[8], diantaranya Syamir bin Dzy al-Jusyin al-Kilaby yang memenggal kepala Husain dengan tangannnya sendiri, hal ini tentu menambah geram kelompok Syiah, mendorong mereka untuk memburu al-Kilaby sekaligus menumbangkan Dinasti Umawiyah di Andalusia[9]. Syi’ah di Timur banyak di ikuti oleh orang non Arab yaitu orang-orang Parsi ( sekarang Iran ), sedangkan di Barat diikuti oleh orang-orang Barbar yang mendiami daratan utara Afrika, Syi’ah dan Khawarij adalah dua partai oposisi politik tehadap pemerintahan Umawiyah dan keduanya menarik simpati orang-orang Barbar yang mana merekapun secara politik dirugikan, mereka merasa berhak untuk berkuasa karena ikut dalam peperangan pembebasan negeri Andalus. Kekuatan Syiah melebihi kekuatan partai khowarij, karena syiah mempunyai dua potensi masa , yang pertama Syiah Barbar, dan yang kedua adalah orang-orang Arab Andalusia yang dalam runutan sejarahnya mereka pro terhadap Ali bin Abi Thalib[10]. Aliran Syi’ah juga berhasil masuk ke ibu kota Andalusia yang dilakukan oleh Bani Dummar, dan Bani Barzal yang bermadzhab Ibadiyah, berlayar melalui Afrika Selatan dan menetap di Cordova[11].

Dalam penjelmaannya sebagai partai oposisi, Syiah telah sejak dini mewarnai coretan sejarah Islam Andalusia, namun mereka tidak berani untuk menampakkan ajarannya secara vulgar, mengingat pemerintahan Umawiyyah berpusat di Damaskus yang sunni saat itu sangat anti pati. Baru pada masa Neo-Umawiyyah ( 138-238 H ) yang didirikan oleh Abd al-Rahman al-Dakhil mereka berhasil melakukan perjanjian damai dengan pemerintahan Katolik Salomon, sehingga perhatian pemerintah lebih terpusat terhadap pembangunan infra-struktur dan supra-struktur, banyak sekali orang-orang Andalusia yang dikirim ke Timur untuk mendalami berbagai disiplin ilmu, pada saat inilah buku-buku Syiah di Timur mulai diperkenalkan di masyarakat Andalusia, seperti Mohammad bin Isya al-Qurtubi yang lebih dikenal dengan nama ‘Asya, berangkat ke Irak pada tahun 179 H. dan hasilnya adalah dikenalnya buku-buku Waki’ bin al-Jarah seorang muhaddits Syiah Zaidiyyah[12]. Namun, transformasi Syiah ini hanya beberapa parsial pemikirannya saja, bukanlah ajaran syiah seutuhnya, tetapi merebaknya seruan-seruan Fatimiyah di abad ketiga membuat sebahagian ulama Andalusia memeluk syiah, walaupun tidak terang-terangan, seperti Mohammad bin Hayyun al-Hijary ( Wafat 305 H.)[13]. Dan menurut Jibrail Jabbur bahwa Ibnu Abd Robbah adalah seorang Syi’I yang taat[14].

Perlu diingat bahwa Mu’tazilah di Timur belum lahir pada masa dimana negeri Andalus di ditaklukkan, para syeikh Mu’tazilah hidup di pertengahan abad kedua Hijriyah dan mendapat legitimasi pemerintah Abasyiah di akhir abad kedua. Menariknya, konsep Af’al al-ibad[15] atau ikhtiyar sangat menyebar di Andalusia, Syi’ah dan Mu’tazilah mempunyai beberapa konsep yang sama, keduanya lebih rasional dibandingkan dengan teologi Sunni, maka dengan menyebarnya Syiah di Andalausia secara otomatis beberapa parsial ajaran Mu’tazilah pun tersebar[16], sebagaimana masa kini Mu’tazilah tidak bisa ditemukan kecuali dalam gubuk-gubuk kaum muslimin Syi’ah di Iran. Sama halnya juga seperti tokoh-tokoh Syiah, pada akhir abad ketiga Hijriyah lahirlah tokoh Mu’tazilah yang bernama Ibnu Wadhoh dan Ibnu Lababah.

Para Orientalis Barat mensinyalir bahwa pada masa ini tidak ditemukan satu tokoh pun yang mengusung salah satu aliran teologi secara utuh, mereka selalu mencampuradukkannya dengan pandangan-pandangan filsafat Ibnu Masarrah[17]

Masa Disintegrasi (422- 483 H)

Dinasti Fatimiyah lahir di abad ketiga mencoba untuk  memberi pupuk terhadap benih-benih syiah di Andalusia, bersamaan dengan itu, dinasti Umayyah tidak becus mengurus kelompok-kelompok minoritas Barbar dan Muwallidin ( orang-orang yang lahir dari perkawinan orang Arab dan penduduk pribumi Spanyol), ditambah lagi dengan peperangan melawan Kristen Katolik di daerah utara Spanyol yang memang belum pernah terjamah, maka lambat-laun mengalami kemunduran dan berakhir di tahun 483 H, akhirnya setiap kelompok memerdekakan dirinya dan memilih pemimpinnya masing-masing, masa ini dinamakan ‘Asr al-Thowaif.

Ilmu kalam di Andalus pada masa dinasti Umayyah tidak mengalami perkembangan yang cukup berarti, aliran-aliran teologi seperi Suni, Syi’ah, dan Khawarij masuk dengan latar belakang politik. Walaupun Sunni berhasil menghegemoni, tetapi tidak sampai menyentuh kajian Sunni yang lebih mendalam sehingga melahirkan tokoh-tokoh yang setidaknya se-level dengan tokoh-tokoh Sunni di Timur, Sunni hanya sebatas legalitas pemerintah , dan tidak menembus batas-batas nalar setiap muslim. Ilmu kalam lahir dan berkembang di Timur karena stimulan konsep-konsep ketuhanan di luar Islam ketika itu, sama halnya dengan perkembangan aliran-aliran teologi seperti Syiah, Mu’tazilah, Murji’ah, dan Asy’ariyah terstimulan oleh adanya musuh-mush aliran secara kongkrit, dan didukung oleh iklim kebebasan yang memperluas ruang gerak perkembangannya. Sementara itu, di Andalus pada masa Umayyah cenderung teokratis, yang hanya melegalkan Sunni sebagai teologi resmi, dan Maliki sebagai Madzhab Fikih. Selama kurang lebih tiga abad, Dinasti Umayah menjerat nilai-nilai kebebasan berpikir, sehingga kita tidak akan menemukan perkembangan keilmuan apapun dalam lembaran sejarah Andalusia pada masa ini.

Lain halnya dengan masa disintegrasi atau ‘Asr al-Thowaif yang ditandai dengan dengan kemerdekaan beberapa kelompok minoritas seperti Barbar di Selatan,  Soqolibah ( orang-orang non islam yang berbahasa Arab tetapi tetap dengan agamanya ) di daerah Timur, dan sebahagiannya kembali ke kabilahnya masing-masing, seperti Banu Ziry di Granada, Banu Hud di Saracosta, Banu Nun di Toledo, dan Banu Ibadah di Sevilla[18], Semua kelompok ini memerdekakan dirinya, kemudian berpikir, berkreasi, dan bertindak sesuai dengan keinginannya masing-masing. Situasi inilah yang sangat mempengaruhi perkembagan ilmu pengetahuan pada masa setelahnya. Buku-buku lintas teologi ditransfer dari Timur. Dikaji dan kemudian disebarkan sesuai dengan aliran teologinya masing-masing secara bebas tanpa ada larangan sebagaimana terjadi di zaman Umayyah[19].

Ibnu Hazm ( 384-458 H ) hidup pada masa ini, masa dimana terdapat kebebasan berpikir, bebas sesuai dengan keinginannya masing. Beliau adalah revolusioner dalam berbagai bidang pada zamannya, pandangannya terhadap sejarah, terhadap sosial, terhadap ekonomi, dan terhadap jurispudensi ( ushul fikih ). Bidang teologi pun tidak luput dari garapannya, menurut beliau aliran-aliran Islam terbagi dua bagian besar, bagian pertama masih dalam jalur Islam dan yang kedua sudah keluar dari Islam, golongan yang pertama terdiri dari Ahlu Sunnah, Mu’tazilah, Murji’ah, Syi’ah, dan Khawarij, Sedangkan golongangan kedua adalah: 1. Golongan Kawarij yang mengatakan bahwa sholat itu  satu roka’at di waktu pagi dan satu roka’at lagi di waktu malam, 2. Golongan yang membolehkan pernikahan kedua saudara laki-laki dan perempuan, dan yang mengklaim bahwa surat Yusuf bukan bagian dari surat al-qur’an, 3. Salah satu aliran Mu’tazilah  yang menjastifikasi reinkarnasi ( al-tanasukh al- arwah ), 4. Beberapa golongan dari Murji’ah yang mengklaim bahwa Iblis tidak diciptakan dari api dan manusia bukan dari tanah, 5. Golongan yang menyatakan bahwa nubuwah bisa dicapai dengan beramal soleh, pemikiran ini dicetuskan oleh Ibn Masarrah ( Wafat 319 H ) 6. Sebagian Ahli Sunnah yang mengatakan bahwa orang-orang sholeh kedudukannya lebih utama dibanding para nabi dan malaikat sebagaimana orang-orang sufi, 7. Orang-orang yang berkeyakinan akan kebenaran konsep hulul seperti al-Hallaj, 8. Beberapa golongan Syi’ah yang mengkalim bahwa dalam diri Ali bin Abi Thalib ada unsur-unsur ketuhanan ( uluhiyah ), dan unsur kenabian ( nubuwwah ),  9.    Kelompok yang mengatakan bahwa Allah SWT itu berjasad.[20]

Ibnu Hazm mengatakan bahwa kalam Allah SWT adalah ilmu-Nya dan itu bukan makhluk[21]. Ini sama dengan apa yang dinyatakan oleh Ahmad bin Hanbal, secara lebih jelas alqur’an yang kalam Allah SWT mengandung lima unsur, yang pertama; Lafadh-lafadh alquran dan suaranya kalau dibacakan merupakan kalam Allah SWT secara hakiki , kedua; Yang dipahami dari ayat –ayat alquran dan dilaksanakan seperti sholat, zakat dan puasa itu merupakan  alquran secara hakiki, ketiga; Lembaran-lembaran mushaf alqur’an sendiri itu adalah kalam Allah SWT, keempat; Ayat-ayat yang terjaga dalam jiwa manusia itupun merupakan kalam Allah SWT, dan yang kelima; Alqur’an sebagai kalam allah SWT adalah ilmu-Nya dan bukan selain dari-Nya, Allah SWT itu bukan makhluq dan ilmu-Nya pun bukan makhluk, dengan demikian maka alqur’an sebagai kalam-Nya bukanlah makhluk, tetapi alqur’an tidak bisa dikatakan khalik.[22] Pada tahapan sejarah ini Andalus masih di hegemoni aliran Sunni, Ibnu Hazm yang hidup pada masa ini mempunyai pandangan tentang alquan yang sama dengan Imam Ibn Hambal di Timur, tapi walaupun demikian toleransi teologis mengalami perkembangan, dengan pengkuan Ibnu Hazm atas aliran-aliran selain Sunni, seperti Mu’tazilah, Syiah, dan Khawarij, membuktikan bahwa ruh-ruh toleransi sudah ada, yang memang ketiga aliran ini sudah menyebar di Andalusia dari awal abad kedua hijriyah.

Masa Murobitun ( 484-539 H )

Kerajaan Murobitun yang pada awalnya hanya menguasai daratan utara Afrika, tetapi berkat permohonan beberapa kerajaan di Andalusia untuk membantu mereka menghadapi para tentara Salib dari Eropa, maka hal ini memudahkan Yusuf bin Tasyfin untuk menggabungkan beberapa kerajaan kecil di Andalus ia dan kerajaannya di Utara Afrika. Yusuf bin Tasyfin dihadapkan pada kondisi keamanan yang rawan dari serangan tentara Salib, langkah pertama yang di ambil Tasyfin adalah menyerukan bahwa iman tidak akan sempurna tanpa diiringi amaliyah yang nyata, Jihad melawan tentara Salib harus digalakan, dan kebebasan berpikir harus dibatasi, dalam tataran fikih hanya melegalkan madzhab Maliki, dan dalam tataran teologi hanya melegalkan Suni, corak pemerintahan dinasti Murobbitun hampir sama dengan corak pemerintahan Dinasti Umayah Pada abad kedua dan ketiga hijriyyah. Selain karena konsentrasi kaum muslimin lebih kepada perang Salib, dan dengan sistem pemerintahan yang Teokratis menjadikan perkembangan teologi mengalami masa redup kembali[23].  

Masa Muwahhidin ( 519-620 H )
           
Al-Mahdy Ibn al-Tumart adalah pendiri dinasti Muwahhidin, berasal dari suku Barbar di utara Afrika, Dendam kesumat suku Barbar sejak masa Thoriq bin Jiyad terpenuhi oleh Ibn Tumart, yang berhasil menggiring publik berbaris dalam pasukannya hingga menumbangkan dinasti Murobbitun, Ibnu Tumart memandang bahwa problematika Kaum muslin bisa diatasi kalau konsep teologinya bersih, menurutnya Allah SWT itu Munazzah dari segala sesuatu, Allah SWT pun tidak menciptakan perbuatan-perbuatan yang buruk,  Allah SWT maha adil. Konsep teologi Ibn Tumart sama dengan konsop theologi Mu’tazilah, maka dia dikenal denngan seorang Mutazili[24]. Pada masa inilah para filosof besar Islam hidup seperti Ibnu Bajah, Ibnu Thufail, dan Ibnu Rusyd.

Masa Bani Ahmar ( 620-897 H )        
           
Bani Ahmar adalah dinasti yang terakhir yang bercokol di Andalusia, Raja Ferdinant berhasil menaklukkan beberapa kota besar kecuali Granada, di wilayah tersisa inilah Dinasti Bani Ahmar memerintah sampai pada masa perjanjian damai dengan Ferdinant pada tahun 897 H. Usai sudah perjalann kaum muslimin di Andalusia yang penuh dengan warna-warni kehidupan, satu-satunya bangsa beradab yang pernah lahir, jaya, dan lenyap yang tersisa hanya beberapa bangunan di beberapa kota besar seperti Cordova, Sevilla, dan Toledo yang berubah fungsi menjadi biara-biara dan sekolah-sekolah Nashrani.

Poin-poin Perkembangan Teologi  di Andalus
           
Ada beberapa poin penting dalam perkembangan teologi di Andalusia, kita akan mencoba untuk mengulas sedikit tentang beberapa terma yang menonjol dan sangat mempengaruhi konsep teologi gereja di masa skolastik. Yang pertama: Konsep kekalan jiwa adalah konsep yang menyatakan bahwa jiwa manusia itu kekal tak akan berakhir “ la mutanahy “ , manusia akan mati tetapi unsur-unsur nalar akan tetap abadi, pandangan ini keluar dari rahim yang mengatakan akan qidam-nya alam, pandangan ini adalah pandangan tiga Teolog besar protestan kenamaan yaitu Thomas Aquinas, Albert Grossen, dan Bonaventura, yang semuanya ini merujuk kepada bukunya Morekh Nebukim ( Dilalah al-Haizin ) karangan Musa bin Maemun “ Moses Maemunides”. Yang menarik dalam hal ini adalah ternyata Musa bin Maemun ini menulis bahwa pandangan ini dari Ibnu Bajah “Avempance “.[25]     Kemudian yang kedua: Kausalitalisme, ‘Illiyyah, Sababiyah. Banyaknya ayat-ayat alqur’an yang cenderung fatalisme, menyebabkan pemahaman kaum muslimin masa awal di wilayah Timur Islam meyakini ‘illat segala sesuatu itu adalah Dzat yang absolut yaitu Allah, segala realita kehidupan di bawah kendalin-Nya tanpa ada peran siapapun, manusia di ilustrasikan sebagai kapas yang terbang di udara, tidak bisa melakukan apapun, kita menulis, membaca, berjalan, tidur, dan makan semuanya digerakan oleh Dzat Yang Maha Esa. Namun setelah kaum muslimin berdialektika dengan filsafat Yunani beserta peradaban-peradaban Yahudi dan Nashrani, mereka baru mengenal konsep kausalitalisme, yang memandang bahwa dalam realita-realita semesta ada sebab dan akibat[26]. Konsep ini berasal dari orang-orang Nashrani yang dikenal kaum muslimin ketika Yahya al-Damsyiqi menjadi penasihat salah satu khalifat Bani Umayyah. Sababiyah ini kemudian dianut oleh para filosof Islam seperti al-Kindy, Farabi, dan Ibnu Sina. Pengaruhnya adalah ilmu natural berkembang di Timur. Kemudian kausalitalisme ini dihancurkan oleh al-Ghozali yang yang mengusung konsep ‘adah atau costum, yang mengatakan bahwa api yang membakar, pembakarannya bukan karena sebab api melainkan api mempunyai sifat membakar. Kemudian pada gilirannya Ibnu Hazm di Andalusia mencoba untuk menguatkan kausalitalisme, yang memang pada jamannya kaum muslimin sudah mengenal konsep ‘ikhtiyar yang mempunyai semangat yang sama dengan kausalitalisme, menurut ibnu Hazm konsep ‘adah ini berasal dari ‘Asy’ariyah yang memuncak di tangan Ghozali[27]. Demikian Ibnu Hazm yang hidup di masa disintegrasi ( ‘asr al-thowaif ) yang terkenal dengan masa kebebasan berfikir, pemikirannya mempengaruhi Ibnu Rusyd al-Mu’tazily yang hidup di masa dinasti Muwahhidin, dia sependapat dengan Aristoteles yang mengatakan bahwa pergerakan alam itu selalu sesuai dengan hukum-hukum natural ( baca : kausalitalisme ), adapun pergerakan alam itu dipandang sebagai costum, itu hanya pada umumnya saja. Jadi konsep ‘illah maupun ‘adah itu merupakan sumbangsih Aristoteles[28]. Ketiga:  Reposisi akal dalam wilayah teologi. Setelah  posisi akal di Timur tumbang oleh kalangan ‘Asyariyah, sementara di Andalus rasionalisme muncul dengan beberapa sebab, pertama: karena nalar penduduk asli Andalusia adalah nalar matematis, dan mekanis yang tentu rasionalis, kedua:  menyebarnya aliran Syi’ah di andalusia yang cenderung rasional daripada aliran Sunni. Dalam jamahan teoogi Ibnu Thufail yang hidup di masa dinasti Mu’tazilah atau dinasti Muwahhidun memberikan ilustrasi seorang Hay bin Yaqdon hidup di suatu pulau terpencil mencoba untuk menguraikan rahasia-rahasia alam dan hasil pemikirannya tersebut ternyata sesuai dengan pemikiran seorang muslim yang meyakini adanya Dzat yang tunggal yang menciptakan alam ini, dia mencoba untuk memberikan posisi akal yang cukup dalam interpretasi-interpretasi ketuhanan.

Dari sekilas perjalan teologi di Andalusia, kita melihat bahwa di sana tidak ada satupun aliran-aliran baru, semua aliran teologi di sana merupakan transfer dari aliran-aliran yang berada di Timur, Syiah terbentuk dengan adonan Gnostisime Parsi dan Yahudi, dan Mu’tazilah lahir dari warisan intelektual Yunani. Sementara di Andalusia tidak terwarisi aliran teologi apapun, hanya rasionalisme yang sudah mereka kenal melalui matematika dan mekanik. Lompatan-lompatan yang dicapai oleh Ibnu Hazm, Ibnu Bajah, Ibnu Thufail, dan Ibnu Rusyd merupakan prestasi yang perlu diacungi jempol, mereka berusaha mengelaborasi teologi Islam dengan sistem-sitem filsafat yang bernuansa akal. Transformasi ilmu pengetahuan dari Arab ke Eropa melalui negeri Andalusia ini dengan pengiriman para pelajar Eropa ke Cordova, mereka belajar bahasa Arab yang kemudian disebarkan di beberapa institusi gereja pada masa skolastik.
           
Para teolog masa sekolastik seperti Thomas Aquinas, Albert Magnus, dan Bonaventura semuanya  mengadopsi pemikiran-pemikiran para theolog muslim. Usaha demikian dilakukan karena saat itu pihak Gereja sedang mencoba untuk merekontruksi bangunan teologi mereka dengan sistem-sistem filsafat supaya dogma-dogma gereja sesuai dengan akal manusia, dan pemikiran tersebut hanya dimiliki oleh para teolog-teolog muslim.


[1] Ahmad Amin, Dzuhr al-Islam, Dar al-Kitab al-Ilmiah  ( Beirut :2004 M. ) vol. III, hal. 13
[2] Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, Dar al-Kitab al-Ilmiah  ( Beirut :2004 M. ) vol. I, hal. 524
[3] Hal ini diamini oleh Mohammad Imarah dalam bukunya Tayyarah al-Fikr al-Islami, dan Ali Syami Nasyar dalam Nasy’ah al-Fikr al-Falsafi fi al-Islam
[4] Dhuha al-islam, Op. Cit. vol. I Hal. 524
[5] Dzuhr al-Islam, Op. Cit. vol. III, Hal. 23
[6] Dr. Roghib al-Sarjani, al-Mausu’ah al-Muyassaroh fi al-Tarikh al-Islami, Mu’assasah Iqra’ ( Kairo : 2005 M ) Hal.368
[7] al-Mausu’ah al-Muyassaroh fi al-Tarikh al-Islami, Op. Cit.  vol II, Hal.368
[8] Dr, Mahmud Ali Makky, al-Tasyayyu’ fi al-Andalus, Maktabah al-Tsaqofah al-Diniyyah, ( Kairo : 2004 M ) Hal. 4
[9] Ibid, hal.5
[10] Ibid, hal. 7
[11] Levy Provensal, al-Hadhoroh al-Arabiyah fi Isbaniya, Dar al-Ma’arif ( Kairo1994 M ) hal.164
[12] Ibid,  hal. 16
[13] Ibid, hal. 17
[14] Ibid,  hal. 19
[15] Pandangan yang menyatakan bahwa manusialah yang menentukan perbuatannya sendiri.
[16] al-Hadhoroh al-Arabiyah fi Isbaniya, Op. Cit. hal. 165
[17] al-Hadhoroh al-Arabiyah fi Isbaniya, Op. Cit. hal. 168
[18] al-Mausu’ah al-Muyassaroh fi al-Tarikh al-Islami, Op. Cit. vol II, Hal 394
[19] al-Tasyayyu’ fi al-Andalus, Op. Cit. hal. 394
[20] Dr. Abdul Halim ‘Aus, Ibnu Hazm al-Andalusy wa Juhuduhu fi al-Bahts al-Tarikhy wa al Hadlory, al-Zahra li al-‘Ilam al-Araby ( Kairo : 1988 M. ), Hal. 334
[21] Harry Austrin Wolfson, The Philosopy of The Kalam, Harvard University Press, diarabkan oleh Mushthafa Labib Abd al-Ghany, dengan judul Falsafah al-Mutakallimin, Majlis al-‘Ala al-Tsaqafah ( Kairo : 2005 M. ) Vol. 1 hal. 365
[22] Harry Austrin Wolfson, The Philosopy of The Kalam, Harvard University Press, diarabkan oleh Mushthafa Labib Abd al-Ghany, Majlis al-‘Ala al-Tsaqafah ( Kairo : 2005 M. ) vol. 1, hal. 367
[23] Dr. Abd al-Majid al-Najjar, Tajrubah al-Islah fi Harokah al-Mahdy bin Tumart, al-Ma’had al-‘Alami li al-Fikr al-Islamy, (Tunisia : 1983 M )  Hal. 53
[24] Dr. Abd al-Majid al-Najjar, Tajrubah al-Islah fi Harokah al-Mahdy bin Tumart, al-Ma’had al-‘Alami li al-Fikr al-Islamy, (Tunisia : 1983 M )  Hal. 91
[25] Falsafah al-Mutakallimin, Op. Cit, vol. II, hal. 601
[26]Ibid.,  hal. 675
[27] Falsafah al-Mutakallimin, Op. Cit, vol. II, hal 700
[28] Ibid., vol. II, hal.706

Powered by Blogger.

  © Blogger template Writer's Blog by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP