Teologi di Andalusia (Hispanic)
21 September, 2011
Sejarah Islam di Andalusia dimulai dari tahun
92 H sampai dengan 897 H, yaitu sekitar delapan abad Islam dengan arabisme-nya mengukir sejarah yang elok,
di sanalah paradigma pemikiran mempunyai warnanya yang tersendiri dari tipikal
paradigma pemikiran bangsa muslim lainnya di Timur Tengah, tentunya latar sosial dan geografis sangat
mempengaruhi hal ini. Semua disiplin keilmuan Islam berkembang, baik
kedokteran, filsafat, astronomi, botani, tafsir, hadist, tasawwuf, ilmu
sejarah, dan geografi.
Tetapi dalam hal perkembangan ilmu teologi
tidak mengalami perkembangan yang cukup berarti, kalau kita melihat
pertumbuhan teologi di wilayah Timur di dorong oleh merebaknya teologi-teologi
masa pra-Islam, Wilayah Islam Timur mempunyai warisan peradaban Parsi, India, dan Cina, kemudian
kentalnya theologi Yahudi dan Nasroni sangat mempengaruhi dan memberikan
stimulan yang berarti akan perkembangan teologi. Variasi budaya dan
sistem nilai yang sudah mentradisi membuat disiplin ilmu ini berkembang dengan
signifikan. Berbeda halnya dengan di Andalusia yang mewariskan ilmu matematika
dan mekanik[1],
sehingga kaum muslimin di sana terkenal dengan perkembangan ilmu natural,
arsitektur, dan ilmu humaniora. Arsitektur Andalus terkenal dengan sistem
bangunan ‘Moro ’.
Walupun demikian, paradigma teologi di
sana mengalami stagnasi. Ada beberapa poin penting yang di sentuh yang mayoritas oleh
para filosof; seperti Ibnu Bajah, Ibnu
Hazm, Ibnu Rusyd, dan Ibnu Tumart. Mereka mencoba untuk menyesuaikan nilai-nilai filsafat dengan nilai-nilai transendental ( baca : ketuhanan ),
bagaimana caranya supaya filsafat berjalan seirama dengan ritme-ritme teologi Islam. Sebenarnya usaha untuk mengelaborasi tteologi dengan filsafat sudah
dilakukan oleh al-Farobi, al-Kindy, dan ibnu Sina di Timur, namun dengan usaha
para Teolog Andalusia yang berupaya melestarikan pemikiran ini pada akhirnya memudahkan bangsa Eropa
untuk mentransformasikan pemikiran para teolog muslim ke Barat ( Eropa ).
Eropa saat itu sudah ‘jijik’ dengan dogma-dogma gereja yang telah berusia ribuan tahun, akal mereka dijerat oleh patriarkisme, akhirnya para 'Bapa gereja' merasa
penting untuk mengadopsi pemikiran-pemikiran para teolog muslim yang mempunyai
sistem teologi relevan, dengan racikan teolgi-filsafat.
Teologi seperti halnya ideologi yang mempunyai
potensi besar untuk melakukan revolusi, beberapa kali suku Barbar melakukan
pemberontakan terhadap pemerintahan yang menghegemoni yang didorong oleh
rayuan-rayuan aliran teologi Khawarij dan Syiah, kemudian revolusi Ibnu Tumart
yang bernafaskan revolusi Mu’tazilah terhadap hegemoni Sunni Murobbitun. Dalam
rentetetan sejarah Andalus ini dipenuhi dengan nuansa fanatisme Arab, dan
pemberontakan bangsa Barbar yang merasa termarjinalkan, hal ini menjadi sasaran
empuk bagi penyebaran teologi-teologi seperti yang dilakukan Syiah dan
Khawarij.
Sekilas Sejarah Kalam di Timur
Sebelum kita mengulas perjalanan teologi di Andalusia alangkahkah baiknya kita mengingat kembali akan pertumbuhan teologi di
Wilayah Timur Islam. Pada masa Nabi Muhammad SAW, kaum muslimin tidak pernah
bertanya seputar ketuhanan secara mendetail, dan tidak pula mengenal istilah ‘ilmu kalam’. Konsep-konsep teologi di
ilustrasikan sesederhana mungkin. Pada perkembangan selanjutnya, kaum muslimin
berhasil menginvasi beberapa daerah yang mempunyai kultur sosial dan sistem
nilai ketuhanan yang variatif, seperti Parsi, India, Yahudi, dan Nasrani.
Itu semua memaksa mereka untuk menggunakan sistem filsafat guna melawan ajaran-ajaran teologi yang variatif itu[2].
Faktor yang dominan lainnya yaitu politik, hampir semua aliran-aliran teologi Islam lahir dari pertentangan politik kaum muslimin di abad pertama dan kedua Masehi, kecuali Mu’tazilah lahir dari semangat memperetahankan konsep ketuhanan Islam
dari ajaran-ajaran ketuhanan lainnya[3].
Para teolog yang didominasi oleh
mu’tazilah sangat kental dengan filsafat Yunani, mereka mengemas konsep
teologi Islam dengan sentuhan-sentuhan logika Aristoteles, memang benar bahwa
para teolog muncul 20 tahun sebelum para filosof seperti al-Kindy, tetapi
filsafat Yunani terutama logika Aristoteles sudah banyak dikenal oleh kaum muslimin
sejak jaman Ibn al-Muqaffa’ ( 106-142 H ).
Sebenarnya konsep ketuhanan itu sudah dibahas oleh kaum muslimin pada
masa-masa awal Islam, namun mereka tidak menamakannya dengan nama ilmu kalam, seperti Imam
Ahmad bin Hambal yang menamai kajian ketuhanan dengan nama Fiqh al-Akbar, dan yang lainnya menyebut al-Fiqh fi al-Din sebagai kajian teologi, baru pada zaman dinasti Abasyiah
muncul terminologi ilmu kalam yang menurut Syahrastani terma tersebut dicetuskan oleh Mu’tazilah[4].
Menarik sekali untuk membahas ilmu kalam di Timur, tapi saya sengaja
membatasinya karena ini akan di kaji dalam kajian ilmu kalam di Wilayah Timur Islam di pertemuan selanjutnya, insya Allah.
Ilmu kalam Di Andalusia
Masa Dinasti Muawiyah ( 92- 422 H )
Negeri Andalusia yang bukan Arab pada awalnya
tidak pernah melahirkan para ulama, negeri pegunungan itu membutuhkan tiga abad untuk
melahirkan para filusuf, teolog, dan para ahli hukum Islam (Fuqoha). Pada mulanya mereka
disibukkan dengan belajar bahasa Arab dan beberapa prinsip-prinsip dasar hukum
ibadah, dibantu para ulama Timur yang sengaja berkunjung dan menetap di sana,
atau karena kunjungannya orang Andalusia untuk belajar ke Timur dan kembali membawa
beberapa disiplin ilmu Islam untuk diajarkan di sana. Pada masa pemerintahan
kholifah Bani Umayyah al-Mustanshir yang
memerintah pada tahun 350-366 H, mulai ada program pemerintah untuk mengoleksi
buku-buku lintas disiplin ilmu[5].
Tiga faktor inilah yang sangat membantu kaum muslimin untuk mengenal beberapa
disiplin ilmu Islam yang marak di Timur, termasuk disiplin ilmu kalam.
Andalusia dimenangkan oleh kaum muslimin
tanpa memakan banyak korban, pemerintahan di sana di kendalikan oleh raja-raja dari dinasti
Umayyah di Damaskus secara sentralistik, dari tahun 92 H negeri Andalusia di
pimpin oleh seorang Wali yang dipilih oleh pemerintahan pusat, selama 46
tahun negeri ini di pimpin oleh 23 Wali, dari mulai Thoriq bin Ziyad
memerintah tahun 92-93 H, sampai Yusuf bin Abd al-Rahman al-Fahri yang memerintah
pada tahun 129-138 H[6]. Pada masa ini kelompok Islam Sunni sangat menghegemoni Andalusia, karena pemerintah
dikendalikan oleh dinasti Umawiyyah di Damaskus yang beraliran Sunni, walaupun sistem
pemerintahannya cenderung sekuler tetapi aparat pemerintahannya di dominasi
oleh orang-orang yang beraliran Sunni. Sementara itu partai Khawarij yang pada awalnya merupakan oposisi politik abadi terhadap pemerintahan
Umawiyah pada akhirnya menjelma menjadi aliran theologi dan mewarnai perkembangan teologi di Andalusia. Aliran ini berupaya menarik simpati tentara-tentara Barbar
Maroko untuk merevolusi pemerintahan Umawiyyah di Andalus, sehingga pada tahun
121 H terjadi tragedi Asyraf; berupa
peperangan antara tentara Arab dan tentara Barbar[7].
Sementara partai Syia’h yang juga menjelma
menjadi aliaran theologi terus melakukan pemberontakan-pemberontakan yang
sporadis melawan pemerintahan Muawiyah. Perlu diketahui bahwa diantara
tentara-tentara Muawiyah yang dikirim ke Andalusia terdapat beberapa tentara yang ikut
serta dalam peristiwa Karbala ( Peristiwa terbunuhnya Husain bin Ali ) pada
tahun 61 H[8],
diantaranya Syamir bin Dzy al-Jusyin al-Kilaby yang memenggal kepala Husain dengan
tangannnya sendiri, hal ini tentu menambah geram kelompok Syiah, mendorong
mereka untuk memburu al-Kilaby sekaligus menumbangkan Dinasti Umawiyah di
Andalusia[9].
Syi’ah di Timur banyak di ikuti oleh orang non Arab yaitu orang-orang Parsi (
sekarang Iran ), sedangkan di Barat diikuti oleh orang-orang Barbar yang mendiami daratan utara Afrika, Syi’ah dan Khawarij adalah dua partai oposisi politik tehadap
pemerintahan Umawiyah dan keduanya menarik simpati
orang-orang Barbar yang mana merekapun secara politik dirugikan, mereka merasa
berhak untuk berkuasa karena ikut dalam peperangan pembebasan negeri Andalus. Kekuatan
Syiah melebihi kekuatan partai khowarij, karena syiah mempunyai dua potensi masa , yang pertama Syiah
Barbar, dan yang kedua adalah orang-orang Arab Andalusia yang dalam runutan
sejarahnya mereka pro terhadap Ali
bin Abi Thalib[10].
Aliran Syi’ah juga berhasil masuk ke ibu kota Andalusia yang dilakukan oleh Bani
Dummar, dan Bani Barzal yang bermadzhab Ibadiyah, berlayar melalui Afrika
Selatan dan menetap di Cordova[11].
Dalam penjelmaannya sebagai partai oposisi,
Syiah telah sejak dini mewarnai coretan sejarah Islam Andalusia, namun mereka
tidak berani untuk menampakkan ajarannya secara vulgar, mengingat pemerintahan Umawiyyah
berpusat di Damaskus yang sunni saat itu sangat anti pati. Baru pada masa Neo-Umawiyyah
( 138-238 H ) yang didirikan oleh Abd al-Rahman al-Dakhil mereka berhasil
melakukan perjanjian damai dengan pemerintahan Katolik Salomon, sehingga
perhatian pemerintah lebih terpusat terhadap pembangunan infra-struktur dan
supra-struktur, banyak sekali orang-orang Andalusia yang dikirim ke Timur untuk
mendalami berbagai disiplin ilmu, pada saat inilah buku-buku Syiah di Timur mulai
diperkenalkan di masyarakat Andalusia, seperti Mohammad bin Isya al-Qurtubi yang
lebih dikenal dengan nama ‘Asya, berangkat ke Irak pada tahun 179 H. dan
hasilnya adalah dikenalnya buku-buku Waki’ bin al-Jarah seorang muhaddits Syiah
Zaidiyyah[12].
Namun, transformasi Syiah ini hanya beberapa parsial pemikirannya saja,
bukanlah ajaran syiah seutuhnya, tetapi merebaknya seruan-seruan Fatimiyah di
abad ketiga membuat sebahagian ulama Andalusia memeluk syiah, walaupun tidak
terang-terangan, seperti Mohammad bin Hayyun al-Hijary ( Wafat 305 H.)[13].
Dan menurut Jibrail Jabbur bahwa Ibnu Abd Robbah adalah seorang Syi’I yang taat[14].
Perlu diingat bahwa Mu’tazilah di Timur
belum lahir pada masa dimana negeri Andalus di ditaklukkan, para syeikh Mu’tazilah
hidup di pertengahan abad kedua Hijriyah dan mendapat legitimasi pemerintah Abasyiah
di akhir abad kedua. Menariknya, konsep Af’al
al-ibad[15]
atau ikhtiyar sangat menyebar di
Andalusia, Syi’ah dan Mu’tazilah mempunyai beberapa konsep yang sama, keduanya
lebih rasional dibandingkan dengan teologi Sunni, maka dengan menyebarnya Syiah di Andalausia secara otomatis beberapa parsial ajaran Mu’tazilah pun tersebar[16],
sebagaimana masa kini Mu’tazilah tidak bisa ditemukan kecuali dalam gubuk-gubuk
kaum muslimin Syi’ah di Iran. Sama halnya juga seperti tokoh-tokoh Syiah, pada
akhir abad ketiga Hijriyah lahirlah tokoh Mu’tazilah yang bernama Ibnu Wadhoh dan
Ibnu Lababah.
Para Orientalis Barat mensinyalir bahwa
pada masa ini tidak ditemukan satu tokoh pun yang mengusung salah satu aliran
teologi secara utuh, mereka selalu mencampuradukkannya dengan pandangan-pandangan
filsafat Ibnu Masarrah[17],
Masa Disintegrasi (422- 483 H)
Dinasti Fatimiyah lahir di abad ketiga
mencoba untuk memberi pupuk terhadap
benih-benih syiah di Andalusia, bersamaan dengan itu, dinasti Umayyah tidak becus mengurus
kelompok-kelompok minoritas Barbar dan Muwallidin
( orang-orang yang lahir dari perkawinan orang Arab dan penduduk pribumi
Spanyol), ditambah lagi dengan peperangan melawan Kristen Katolik di daerah
utara Spanyol yang memang belum pernah terjamah, maka lambat-laun mengalami kemunduran dan berakhir di tahun 483 H,
akhirnya setiap kelompok memerdekakan dirinya dan memilih pemimpinnya
masing-masing, masa ini dinamakan ‘Asr
al-Thowaif.
Ilmu
kalam di Andalus pada masa dinasti Umayyah tidak mengalami perkembangan yang
cukup berarti, aliran-aliran teologi seperi Suni, Syi’ah, dan Khawarij masuk dengan
latar belakang politik. Walaupun Sunni berhasil menghegemoni, tetapi tidak
sampai menyentuh kajian Sunni yang lebih mendalam sehingga melahirkan
tokoh-tokoh yang setidaknya se-level dengan tokoh-tokoh Sunni di Timur, Sunni hanya
sebatas legalitas pemerintah , dan tidak menembus batas-batas nalar setiap
muslim. Ilmu kalam lahir dan berkembang di Timur karena stimulan konsep-konsep
ketuhanan di luar Islam ketika itu, sama halnya dengan perkembangan aliran-aliran
teologi seperti Syiah, Mu’tazilah, Murji’ah, dan Asy’ariyah terstimulan oleh
adanya musuh-mush aliran secara kongkrit, dan didukung oleh iklim kebebasan
yang memperluas ruang gerak perkembangannya. Sementara itu, di Andalus pada masa
Umayyah cenderung teokratis, yang hanya melegalkan Sunni sebagai teologi resmi, dan
Maliki sebagai Madzhab Fikih. Selama kurang lebih tiga abad, Dinasti Umayah
menjerat nilai-nilai kebebasan berpikir, sehingga kita tidak akan menemukan
perkembangan keilmuan apapun dalam lembaran sejarah Andalusia pada masa ini.
Lain halnya dengan masa disintegrasi atau ‘Asr al-Thowaif yang ditandai dengan dengan kemerdekaan beberapa kelompok minoritas seperti Barbar di Selatan, Soqolibah ( orang-orang non islam yang berbahasa Arab tetapi tetap dengan agamanya ) di daerah Timur, dan sebahagiannya kembali ke kabilahnya masing-masing, seperti Banu Ziry di Granada, Banu Hud di Saracosta, Banu Nun di Toledo, dan Banu Ibadah di Sevilla[18], Semua kelompok ini memerdekakan dirinya, kemudian berpikir, berkreasi, dan bertindak sesuai dengan keinginannya masing-masing. Situasi inilah yang sangat mempengaruhi perkembagan ilmu pengetahuan pada masa setelahnya. Buku-buku lintas teologi ditransfer dari Timur. Dikaji dan kemudian disebarkan sesuai dengan aliran teologinya masing-masing secara bebas tanpa ada larangan sebagaimana terjadi di zaman Umayyah[19].
Ibnu Hazm ( 384-458 H ) hidup pada masa ini, masa dimana terdapat kebebasan berpikir, bebas sesuai dengan keinginannya masing. Beliau adalah revolusioner dalam berbagai bidang pada zamannya, pandangannya terhadap sejarah, terhadap sosial, terhadap ekonomi, dan terhadap jurispudensi ( ushul fikih ). Bidang teologi pun tidak luput dari garapannya, menurut beliau aliran-aliran Islam terbagi dua bagian besar, bagian pertama masih dalam jalur Islam dan yang kedua sudah keluar dari Islam, golongan yang pertama terdiri dari Ahlu Sunnah, Mu’tazilah, Murji’ah, Syi’ah, dan Khawarij, Sedangkan golongangan kedua adalah: 1. Golongan Kawarij yang mengatakan bahwa sholat itu satu roka’at di waktu pagi dan satu roka’at lagi di waktu malam, 2. Golongan yang membolehkan pernikahan kedua saudara laki-laki dan perempuan, dan yang mengklaim bahwa surat Yusuf bukan bagian dari surat al-qur’an, 3. Salah satu aliran Mu’tazilah yang menjastifikasi reinkarnasi ( al-tanasukh al- arwah ), 4. Beberapa golongan dari Murji’ah yang mengklaim bahwa Iblis tidak diciptakan dari api dan manusia bukan dari tanah, 5. Golongan yang menyatakan bahwa nubuwah bisa dicapai dengan beramal soleh, pemikiran ini dicetuskan oleh Ibn Masarrah ( Wafat 319 H ) 6. Sebagian Ahli Sunnah yang mengatakan bahwa orang-orang sholeh kedudukannya lebih utama dibanding para nabi dan malaikat sebagaimana orang-orang sufi, 7. Orang-orang yang berkeyakinan akan kebenaran konsep hulul seperti al-Hallaj, 8. Beberapa golongan Syi’ah yang mengkalim bahwa dalam diri Ali bin Abi Thalib ada unsur-unsur ketuhanan ( uluhiyah ), dan unsur kenabian ( nubuwwah ), 9. Kelompok yang mengatakan bahwa Allah SWT itu berjasad.[20]
Lain halnya dengan masa disintegrasi atau ‘Asr al-Thowaif yang ditandai dengan dengan kemerdekaan beberapa kelompok minoritas seperti Barbar di Selatan, Soqolibah ( orang-orang non islam yang berbahasa Arab tetapi tetap dengan agamanya ) di daerah Timur, dan sebahagiannya kembali ke kabilahnya masing-masing, seperti Banu Ziry di Granada, Banu Hud di Saracosta, Banu Nun di Toledo, dan Banu Ibadah di Sevilla[18], Semua kelompok ini memerdekakan dirinya, kemudian berpikir, berkreasi, dan bertindak sesuai dengan keinginannya masing-masing. Situasi inilah yang sangat mempengaruhi perkembagan ilmu pengetahuan pada masa setelahnya. Buku-buku lintas teologi ditransfer dari Timur. Dikaji dan kemudian disebarkan sesuai dengan aliran teologinya masing-masing secara bebas tanpa ada larangan sebagaimana terjadi di zaman Umayyah[19].
Ibnu Hazm ( 384-458 H ) hidup pada masa ini, masa dimana terdapat kebebasan berpikir, bebas sesuai dengan keinginannya masing. Beliau adalah revolusioner dalam berbagai bidang pada zamannya, pandangannya terhadap sejarah, terhadap sosial, terhadap ekonomi, dan terhadap jurispudensi ( ushul fikih ). Bidang teologi pun tidak luput dari garapannya, menurut beliau aliran-aliran Islam terbagi dua bagian besar, bagian pertama masih dalam jalur Islam dan yang kedua sudah keluar dari Islam, golongan yang pertama terdiri dari Ahlu Sunnah, Mu’tazilah, Murji’ah, Syi’ah, dan Khawarij, Sedangkan golongangan kedua adalah: 1. Golongan Kawarij yang mengatakan bahwa sholat itu satu roka’at di waktu pagi dan satu roka’at lagi di waktu malam, 2. Golongan yang membolehkan pernikahan kedua saudara laki-laki dan perempuan, dan yang mengklaim bahwa surat Yusuf bukan bagian dari surat al-qur’an, 3. Salah satu aliran Mu’tazilah yang menjastifikasi reinkarnasi ( al-tanasukh al- arwah ), 4. Beberapa golongan dari Murji’ah yang mengklaim bahwa Iblis tidak diciptakan dari api dan manusia bukan dari tanah, 5. Golongan yang menyatakan bahwa nubuwah bisa dicapai dengan beramal soleh, pemikiran ini dicetuskan oleh Ibn Masarrah ( Wafat 319 H ) 6. Sebagian Ahli Sunnah yang mengatakan bahwa orang-orang sholeh kedudukannya lebih utama dibanding para nabi dan malaikat sebagaimana orang-orang sufi, 7. Orang-orang yang berkeyakinan akan kebenaran konsep hulul seperti al-Hallaj, 8. Beberapa golongan Syi’ah yang mengkalim bahwa dalam diri Ali bin Abi Thalib ada unsur-unsur ketuhanan ( uluhiyah ), dan unsur kenabian ( nubuwwah ), 9. Kelompok yang mengatakan bahwa Allah SWT itu berjasad.[20]
Ibnu Hazm mengatakan bahwa kalam Allah SWT
adalah ilmu-Nya dan itu bukan makhluk[21].
Ini sama dengan apa yang dinyatakan oleh Ahmad bin Hanbal, secara lebih jelas
alqur’an yang kalam Allah SWT mengandung lima unsur, yang pertama; Lafadh-lafadh alquran dan suaranya kalau dibacakan
merupakan kalam Allah SWT secara hakiki , kedua;
Yang dipahami dari ayat –ayat alquran dan dilaksanakan seperti sholat, zakat
dan puasa itu merupakan alquran secara
hakiki, ketiga; Lembaran-lembaran
mushaf alqur’an sendiri itu adalah kalam Allah SWT, keempat; Ayat-ayat yang terjaga dalam jiwa manusia itupun merupakan
kalam Allah SWT, dan yang kelima; Alqur’an
sebagai kalam allah SWT adalah ilmu-Nya dan bukan selain dari-Nya, Allah SWT
itu bukan makhluq dan ilmu-Nya pun bukan makhluk, dengan demikian maka alqur’an
sebagai kalam-Nya bukanlah makhluk, tetapi alqur’an tidak bisa dikatakan
khalik.[22]
Pada tahapan sejarah ini Andalus masih di hegemoni aliran Sunni, Ibnu Hazm yang
hidup pada masa ini mempunyai pandangan tentang alquan yang sama dengan Imam
Ibn Hambal di Timur, tapi walaupun demikian toleransi teologis mengalami
perkembangan, dengan pengkuan Ibnu Hazm atas aliran-aliran selain Sunni,
seperti Mu’tazilah, Syiah, dan Khawarij, membuktikan bahwa ruh-ruh toleransi
sudah ada, yang memang ketiga aliran ini sudah menyebar di Andalusia dari awal
abad kedua hijriyah.
Masa Murobitun ( 484-539 H )
Kerajaan Murobitun yang pada awalnya hanya
menguasai daratan utara Afrika, tetapi berkat permohonan beberapa kerajaan
di Andalusia untuk membantu mereka menghadapi para tentara Salib dari Eropa, maka
hal ini memudahkan Yusuf bin Tasyfin untuk menggabungkan beberapa kerajaan
kecil di Andalus ia dan kerajaannya di Utara Afrika. Yusuf bin Tasyfin dihadapkan
pada kondisi keamanan yang rawan dari serangan tentara Salib, langkah pertama
yang di ambil Tasyfin adalah menyerukan bahwa iman tidak akan sempurna tanpa
diiringi amaliyah yang nyata, Jihad melawan tentara Salib harus digalakan, dan
kebebasan berpikir harus dibatasi, dalam tataran fikih hanya melegalkan madzhab
Maliki, dan dalam tataran teologi hanya melegalkan Suni, corak pemerintahan
dinasti Murobbitun hampir sama dengan corak pemerintahan Dinasti Umayah Pada
abad kedua dan ketiga hijriyyah. Selain karena konsentrasi kaum muslimin lebih
kepada perang Salib, dan dengan sistem pemerintahan yang Teokratis menjadikan
perkembangan teologi mengalami masa redup kembali[23].
Masa Muwahhidin ( 519-620 H )
Masa Muwahhidin ( 519-620 H )
Al-Mahdy Ibn al-Tumart adalah pendiri
dinasti Muwahhidin, berasal dari suku Barbar di utara Afrika, Dendam kesumat
suku Barbar sejak masa Thoriq bin Jiyad terpenuhi oleh Ibn Tumart, yang
berhasil menggiring publik berbaris dalam pasukannya hingga menumbangkan
dinasti Murobbitun, Ibnu Tumart memandang bahwa problematika Kaum muslin bisa
diatasi kalau konsep teologinya bersih, menurutnya Allah SWT itu Munazzah dari segala sesuatu, Allah SWT
pun tidak menciptakan perbuatan-perbuatan yang buruk, Allah SWT maha adil. Konsep teologi Ibn
Tumart sama dengan konsop theologi Mu’tazilah, maka dia dikenal denngan seorang
Mutazili[24].
Pada masa inilah para filosof besar Islam hidup seperti Ibnu Bajah, Ibnu
Thufail, dan Ibnu Rusyd.
Masa Bani Ahmar ( 620-897 H )
Bani Ahmar adalah dinasti yang terakhir
yang bercokol di Andalusia, Raja Ferdinant berhasil menaklukkan beberapa kota
besar kecuali Granada, di wilayah tersisa inilah Dinasti Bani Ahmar memerintah sampai
pada masa perjanjian damai dengan Ferdinant pada tahun 897 H. Usai sudah perjalann kaum
muslimin di Andalusia yang penuh dengan warna-warni kehidupan, satu-satunya
bangsa beradab yang pernah lahir, jaya, dan lenyap yang tersisa hanya beberapa
bangunan di beberapa kota besar seperti Cordova, Sevilla, dan Toledo yang
berubah fungsi menjadi biara-biara dan sekolah-sekolah Nashrani.
Poin-poin Perkembangan Teologi di Andalus
Ada beberapa poin penting dalam
perkembangan teologi di Andalusia, kita akan mencoba untuk mengulas sedikit
tentang beberapa terma yang menonjol dan sangat mempengaruhi konsep teologi
gereja di masa skolastik. Yang pertama:
Konsep kekalan jiwa adalah konsep yang menyatakan bahwa jiwa manusia itu kekal
tak akan berakhir “ la mutanahy “ ,
manusia akan mati tetapi unsur-unsur nalar akan tetap abadi, pandangan ini
keluar dari rahim yang mengatakan akan qidam-nya alam, pandangan ini adalah
pandangan tiga Teolog besar protestan kenamaan yaitu Thomas Aquinas, Albert
Grossen, dan Bonaventura, yang semuanya ini merujuk kepada bukunya Morekh
Nebukim ( Dilalah al-Haizin )
karangan Musa bin Maemun “ Moses
Maemunides”. Yang menarik dalam hal ini adalah ternyata Musa bin Maemun ini
menulis bahwa pandangan ini dari Ibnu Bajah “Avempance
“.[25] Kemudian yang kedua: Kausalitalisme, ‘Illiyyah,
Sababiyah. Banyaknya ayat-ayat alqur’an yang cenderung fatalisme,
menyebabkan pemahaman kaum muslimin masa awal di wilayah Timur Islam meyakini ‘illat segala
sesuatu itu adalah Dzat yang absolut yaitu Allah, segala realita kehidupan di
bawah kendalin-Nya tanpa ada peran siapapun, manusia di ilustrasikan sebagai
kapas yang terbang di udara, tidak bisa melakukan apapun, kita menulis,
membaca, berjalan, tidur, dan makan semuanya digerakan oleh Dzat Yang Maha Esa.
Namun setelah kaum muslimin berdialektika dengan filsafat Yunani beserta
peradaban-peradaban Yahudi dan Nashrani, mereka baru mengenal konsep
kausalitalisme, yang memandang bahwa dalam realita-realita semesta ada sebab dan akibat[26].
Konsep ini berasal dari orang-orang Nashrani yang dikenal kaum muslimin ketika Yahya
al-Damsyiqi menjadi penasihat salah satu khalifat Bani Umayyah. Sababiyah ini kemudian dianut oleh para
filosof Islam seperti al-Kindy, Farabi, dan Ibnu Sina. Pengaruhnya adalah ilmu
natural berkembang di Timur. Kemudian kausalitalisme ini dihancurkan oleh
al-Ghozali yang yang mengusung konsep ‘adah atau costum, yang mengatakan bahwa api yang membakar, pembakarannya
bukan karena sebab api melainkan api mempunyai sifat membakar. Kemudian pada
gilirannya Ibnu Hazm di Andalusia mencoba untuk menguatkan kausalitalisme, yang
memang pada jamannya kaum muslimin sudah mengenal konsep ‘ikhtiyar yang
mempunyai semangat yang sama dengan kausalitalisme, menurut ibnu Hazm konsep
‘adah ini berasal dari ‘Asy’ariyah yang memuncak di tangan Ghozali[27].
Demikian Ibnu Hazm yang hidup di masa disintegrasi ( ‘asr al-thowaif ) yang
terkenal dengan masa kebebasan berfikir, pemikirannya mempengaruhi Ibnu Rusyd
al-Mu’tazily yang hidup di masa dinasti Muwahhidin, dia sependapat dengan
Aristoteles yang mengatakan bahwa pergerakan alam itu selalu sesuai dengan
hukum-hukum natural ( baca : kausalitalisme ), adapun pergerakan alam itu
dipandang sebagai costum, itu hanya
pada umumnya saja. Jadi konsep ‘illah maupun ‘adah itu merupakan sumbangsih
Aristoteles[28].
Ketiga: Reposisi akal dalam wilayah teologi. Setelah posisi akal di Timur tumbang oleh kalangan ‘Asyariyah, sementara di Andalus
rasionalisme muncul dengan beberapa sebab, pertama: karena nalar penduduk asli
Andalusia adalah nalar matematis, dan mekanis yang tentu rasionalis, kedua: menyebarnya aliran Syi’ah di andalusia yang
cenderung rasional daripada aliran Sunni. Dalam jamahan teoogi Ibnu Thufail
yang hidup di masa dinasti Mu’tazilah atau dinasti Muwahhidun memberikan
ilustrasi seorang Hay bin Yaqdon hidup di suatu pulau terpencil mencoba
untuk menguraikan rahasia-rahasia alam dan hasil pemikirannya tersebut ternyata sesuai dengan
pemikiran seorang muslim yang meyakini adanya Dzat yang tunggal yang menciptakan
alam ini, dia mencoba untuk memberikan posisi akal yang cukup dalam
interpretasi-interpretasi ketuhanan.
Dari sekilas perjalan teologi di Andalusia,
kita melihat bahwa di sana tidak ada satupun aliran-aliran baru, semua aliran
teologi di sana merupakan transfer dari aliran-aliran yang berada di Timur,
Syiah terbentuk dengan adonan Gnostisime Parsi dan Yahudi, dan Mu’tazilah
lahir dari warisan intelektual Yunani. Sementara di Andalusia tidak terwarisi
aliran teologi apapun, hanya rasionalisme yang sudah mereka kenal melalui matematika dan
mekanik. Lompatan-lompatan yang dicapai oleh Ibnu Hazm, Ibnu Bajah, Ibnu
Thufail, dan Ibnu Rusyd merupakan prestasi yang perlu diacungi jempol, mereka
berusaha mengelaborasi teologi Islam dengan sistem-sitem filsafat yang
bernuansa akal. Transformasi ilmu pengetahuan dari Arab ke Eropa melalui negeri
Andalusia ini dengan pengiriman para pelajar Eropa ke Cordova, mereka belajar
bahasa Arab yang kemudian disebarkan di beberapa institusi gereja pada masa
skolastik.
Para teolog masa sekolastik seperti Thomas
Aquinas, Albert Magnus, dan Bonaventura semuanya mengadopsi pemikiran-pemikiran para
theolog muslim. Usaha demikian dilakukan karena saat itu pihak Gereja sedang
mencoba untuk merekontruksi bangunan teologi mereka dengan sistem-sistem
filsafat supaya dogma-dogma gereja sesuai dengan akal manusia, dan pemikiran
tersebut hanya dimiliki oleh para teolog-teolog muslim.
[1] Ahmad
Amin, Dzuhr al-Islam, Dar al-Kitab
al-Ilmiah ( Beirut :2004 M. ) vol. III, hal. 13
[2] Ahmad
Amin, Dhuha al-Islam, Dar al-Kitab
al-Ilmiah ( Beirut :2004 M. ) vol. I, hal. 524
[3] Hal ini
diamini oleh Mohammad Imarah dalam bukunya Tayyarah
al-Fikr al-Islami, dan Ali Syami Nasyar dalam Nasy’ah al-Fikr al-Falsafi fi al-Islam
[4] Dhuha al-islam, Op. Cit. vol. I Hal. 524
[5] Dzuhr al-Islam, Op. Cit. vol. III, Hal.
23
[6] Dr.
Roghib al-Sarjani, al-Mausu’ah
al-Muyassaroh fi al-Tarikh al-Islami, Mu’assasah Iqra’ ( Kairo : 2005 M )
Hal.368
[7] al-Mausu’ah al-Muyassaroh fi al-Tarikh
al-Islami, Op. Cit. vol II, Hal.368
[8] Dr,
Mahmud Ali Makky, al-Tasyayyu’ fi
al-Andalus, Maktabah al-Tsaqofah al-Diniyyah, ( Kairo : 2004 M ) Hal. 4
[9] Ibid,
hal.5
[10] Ibid,
hal. 7
[11] Levy
Provensal, al-Hadhoroh al-Arabiyah fi
Isbaniya, Dar al-Ma’arif ( Kairo1994 M ) hal.164
[12]
Ibid, hal. 16
[13] Ibid,
hal. 17
[14]
Ibid, hal. 19
[15]
Pandangan yang menyatakan bahwa manusialah yang menentukan perbuatannya
sendiri.
[16] al-Hadhoroh al-Arabiyah fi Isbaniya, Op.
Cit. hal. 165
[17] al-Hadhoroh al-Arabiyah fi Isbaniya, Op.
Cit. hal. 168
[18] al-Mausu’ah al-Muyassaroh fi al-Tarikh
al-Islami, Op. Cit. vol II, Hal 394
[19] al-Tasyayyu’ fi al-Andalus, Op. Cit.
hal. 394
[20] Dr.
Abdul Halim ‘Aus, Ibnu Hazm al-Andalusy
wa Juhuduhu fi al-Bahts al-Tarikhy wa al Hadlory, al-Zahra li al-‘Ilam
al-Araby ( Kairo : 1988 M. ), Hal. 334
[21] Harry
Austrin Wolfson, The Philosopy of The
Kalam, Harvard University Press, diarabkan oleh Mushthafa Labib Abd
al-Ghany, dengan judul Falsafah
al-Mutakallimin, Majlis al-‘Ala al-Tsaqafah ( Kairo : 2005 M. ) Vol. 1 hal.
365
[22] Harry
Austrin Wolfson, The Philosopy of The
Kalam, Harvard University Press, diarabkan oleh Mushthafa Labib Abd
al-Ghany, Majlis al-‘Ala al-Tsaqafah ( Kairo : 2005 M. ) vol. 1, hal. 367
[23] Dr. Abd
al-Majid al-Najjar, Tajrubah al-Islah fi
Harokah al-Mahdy bin Tumart, al-Ma’had al-‘Alami li al-Fikr al-Islamy,
(Tunisia : 1983 M ) Hal. 53
[24] Dr. Abd
al-Majid al-Najjar, Tajrubah al-Islah fi
Harokah al-Mahdy bin Tumart, al-Ma’had al-‘Alami li al-Fikr al-Islamy,
(Tunisia : 1983 M ) Hal. 91
[25] Falsafah al-Mutakallimin, Op. Cit, vol.
II, hal. 601
[26]Ibid., hal. 675
[27] Falsafah al-Mutakallimin, Op. Cit, vol.
II, hal 700
[28] Ibid.,
vol. II, hal.706